Rabu, Februari 25, 2009

Perempuan di Titik Nol

ditulis oleh: Ken Ratih Indri Hapsari*

Betapa hati ini tidak sedih dan tersayat. Beberapa waktu lalu, di kota Malang Jawa Timur, Ibu Junania Mersi, berumur 37 tahun melakukan bunuh diri bersama empat anaknya Tania (11), Princesca Laduva (9), Dodo Hendrison (9) dan Gabriel Hanson (2) akibat tekanan ekonomi.
Sang Ibu meminumkan air putih bercampur racun potassium kepada keempat anaknya hingga mereka tewas. Lalu giliran Ny Mercy menenggak air beracun itu sampai tewas. Bunuh diri dianggap pilihan untuk melarikan diri dari beban hidup yang membuatnya tertekan.

Sebagai seorang perempuan, mendengar berita itu saya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menahan amarah. Amarah yang menyala dan terpaksa harus ditekan, tetapi juga menegaskan kesimpulan yang selama ini telah lama saya yakini dalam hati dan pikiran. Sistem sosio-ekonomi dan kebudayaan kita kejam, tidak bisa memberi jalan keluar bagi persoalan eksistensi kemanusiaan. Bahkan justru memasung keberadaan diri, melahirkan jalan buntu bagi tiap orang yang tidak ingin menderita.
Perempuan seperti saya hanya bisa menganalisa, menulis, dan memberikan secuil perhatian dan aktivitas. Mungkin saya bisa bicara tentang gerakan atau perubahan. Tetapi, kebanyakan perempuan di negeri ini selalu berada “di titik nol”—woman in zero point! Bukan hanya buntu karena kurang perhatian dari orang dekat, tetapi juga termarjinalkan oleh sistem perekonomian pasar bebas (neoliberalisme).
Neoliberalisme adalah jalan baru tatanan perekonomian kapitalisme yang selalu menginginkan, pertama-tama, perempuan beramai-ramai membeli produk dan hanya bisa mengonsumsi, terutama agar bisa bergaya hidup seperti ‘nabi-nabi’-nya, yaitu bintang sinetron, penyanyi pop, hingga bintang porno. Kedua, neoliberalisme membayar buruh (pekerja) perempuan dengan upah yang sangat murah karena logika kapitalis adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Jika kaum perempuan selalu digoda untuk membeli dan membeli, sementara mereka tidak hanya mendapatkan upah rendah, tetapi juga kebanyakan tidak mendapatkan apa-apa karena dijauhkan dari proses produksi sosio-ekonomi, muncul ketertekanan, ketergantungan, dan (akhirnya) penindasan.
Ketertekanan harus diatasi dengan melarikan diri (escapism), menyangkal realitas atau mengumpat realitas —keduanya sama-sama melahirkan jiwa yang tidak sehat. Ketergantungan akan membuat daya tawarnya lemah. Saat ini kita menjumpai banyak sekali “parasite eve” (kaum-hawa parasit), hanya merekayasa eksistensi fisik untuk dijual pada budaya, entah agar “laku” (memang dijual?) oleh laki-laki kaya, yang siap mencukupi kebutuhan-kebutuhan dan kesenangan-kesenangannya. Sayang, lelaki yang memilihnya, entah sekedar dijadikan simpanan atau dinikahi, seringkali memanfaatkan hartanya untuk dapat membeli perempuan yang diinginkan.
Tak heran jika kadang juga terjadi berbagai macam kekerasan dan penindasan, karena daya tawar si “parasite eve” hanyalah kecantikan fisik semata.
Dari kasus itu, akar dari keterpinggiran dan ketertindasan sangat ekonomis. Ketika perempuan tersingkir dari wilayah produktif, maka mereka dimasukkan ke wilayah domestik (ranjang, dapur, rumah, dll). Dan, negara masih saja tidak peduli. Tokoh-tokoh masyarakat juga masih memandang bahwa “kelemahan” perempuan adalah “takdir”. Alih-alih ingin melindungi perempuan karena “kelemahannya”, mereka ingin memoligami atau memanfaatkan perempuan untuk kekuasaan negara yang patriarchal.
Padahal perempuan memiliki kasih sayang yang mendalam, ingin melihat anak-anaknya tumbuh dengan baik, sehat, pintar, dan menjadi “orang”—tidak menjadi benda atau binatang.
Ibu Mercy di Malang pun bunuh diri karena tidak tahan melihat penindasan itu. Ia berada di titik nol, dan pada titik itulah ia buntu. Ketika kontradiksi justru membuat pikiran dan hati gelap, menganggap orang lain musuh yang menyangkal dan dianggap tidak mau dimintai bantuan, maka ide individualistik dan eksklusif dalam ruang hidup yang hitam—sebagaimana dikatakan Durkheim—menyebabkan ia mengakhiri hidupnya. Mati adalah pilihan daripada hidup berkalang ketakutan.
Seandainya Ibu Mercy adalah Firdaus dalam novel Nawal Sadawi, Perempuan Di Titik Nol, mungkin kontradiksi justru memberikan ruang bagi penemuan—ia tidak bunuh diri, tetapi memberontak. Mungkin konteks historisnya beda. Melalui tokoh utama Firdaus, seorang perempuan miskin desa yang bermetamorfose menjadi “pekerja seks elite”, Nawal mengajak kita semua berpikir ulang tentang makna pembebasan bagi perempuan.
Siapa sebenarnya sosok perempuan yang bebas itu? Jangan-jangan mereka adalah seorang pekerja seks yang mandiri dan profesional dan bukannya seorang istri yang melayani setia suaminya. Mereka lebih nista. Mereka tidak bisa memilih: mereka lebih tidak bermartabat dari Ibu Mercy yang bunuh diri. Jalan bunuh diri yang dipilih Ibu Mercy memberi pelajaran bagi sejarah; mengabarkan pada negara dan perempuan bahwa kehidupan sekarang buntu, dan butuh pendobrakan atau pemberontakan!
Saya sungguh mengharapkan perempuan bangkit karena kontradiksi semakin kejam dan tak terdamaikan. Perempuan harus mandiri, bangun, dan tidak menggantungkan diri pada lelaki, tetapi justru melawan tatanan yang membelenggu kebebasan nurani.
*) Aktivis KIPAS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember.

sumber artikel: http://opini-koranpakoles2007.blogspot.com/

1 komentar:

  1. from: diana nad ros
    to : my friends in siwalima-unhas
    buat katong punya tman-2 samua semangat ya....!!! karena akan ada kegiatan yang jauh lebih seru and tentunya jauh lebis asyik and akan selalu diingat and sirindukan khususnya orang-orasngnya. baut teman-2 konsumsi buat manakan yang jauh lebih enak dari yang kemarin.
    diana salut sama tim konsumsi azzaaa alle.....!!!!
    selamat.....!!!! and semoga siwalima tetap eksis sebagai organisasi pelopor and contoh bagi organisasi yang lainnya khususnya di maluku.
    salam basudara nad salam siwalima
    chayooo....
    BETA SAYANG KAMONG SAMUA.
    MUHHHHHHHH.....
    HE... HE...(^_^)!!!!!!!!

    BalasHapus