Sabtu, April 04, 2009

Pattimura dan Fatimah muda

ditulis oleh Rus'an Latuconsina

Pattimura sudah jamak dikenal luas sebagai ikon nasionalis penentang penjajah Belanda dari Maluku. Meski masih kontroversi seputar identitasnya yang asli, Pattimura telah diterima sebagai pahlawan nasional Indonesia yang saat ini sketsa imajinatiknya diapresiasikan oleh pemerintah pada uang seribu rupiah. Pattimura versi sejarah mainstream adalah sosok pemimpin perlawanan rakyat Maluku yang secara sporadis pernah membuat gerakan pembangkangan terhadap Hindia Belanda di Maluku bersama kawan-kawannya. Ia ditangkap tidak lama sesudah itu lalu kemudian dieksekusi. Pattimura kemudian menjadi tokoh sejarah perlawanan rakyat Maluku menentang penjajahan, meski perlu disadari bahwa masih banyak tokoh penentang penjajahan lainnya yang tidak direkam oleh penulis sejarah mainstream. Dalam dunia simbol kemudian diciptakanlah ikon Pattimura Muda agar menjadi proyeksi ideal semangat kaum muda Maluku dalam membaca semangat jaman.

Menurut hematku semangat Pattimura muda dikonstruksi oleh penguasa sejarah Orde Baru untuk menguatkan semangat nasionalisme ke-Indonesiaan agar hal ini bisa mengkonter wacana separatisme RMS di Maluku. Jadi kita semua sebagai kaum muda Maluku adalah pewaris sah semangat Pattimura muda ini. Semangat ini terinternalisasikan melalui institusi pendidikan dan saluran propaganda lainnya selama puluhan tahun membentuk kerangka berpikir dan wawasan sejarah, terutama bagaimana posisi kita dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia yang bercorak ideologi nasionalisme Pancasila. Tergantung bagaimana nalar kita dibingkai untuk mengapresiasikan sejarah sporadisme gerakan Pattimura. Semangat ini terkanalisasikan ke jantung eksistensi kaum terpelajar yang terbanyak bersentuhan dengan khasanah modernitas Barat lewat rasionalitas-rasionalitas dalam banyak manifesnya, tentunya dengan pola yang telah tersimulasikan (Jean Baudrillard).

Pattimura muda adalah anak bangsa Indonesia menurut konstruksi berpikir nasionalis yang mengikat secara simbolik ideal-ideal proyeksi heroisitas siapa saja anak muda dengan latar genealogi dan romantisme yang sama dari bumi cengkeh pala. Kita menjadi dalam proses dengan semangat ini mencandra dunia. Pattimura muda adalah identitas yang terberi secara apriorik. Ia adalah masa kini dan dorongan masa depan. Masa lalu adalah Pattimura Tua yang gerakannya sporadis. Pattimura kini dipenuhi rasionalitas yang terstruktur dan terorganisir. Ia kini adalah pembacaan baru atas era baru yang teramat kompleks.

Fatimah muda adalah kebanggaan karakter bagi identitas kaum muslimah. Fatimah sebagai sosok mar'atussoleha ideal, putri Nabi saw, adalah inisiasi spiritual bagi penyikapan masa kini dan masa depan eksistensi diri. Ikon wanita terbaik berdasarkan kriteria spiritualitas dan intelektualitas yang memancar sepanjang masa dari bunda Fatimah azzahra ini menjadi ispirasi kaum Muslimah di mana saja, termasuk Muslimah Maluku. Universalitas karakter yang mengedepankan nilai-nilai Ilahiah tauhid mengarah pada pengafirmasian nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.




Selengkapnya...

Jumat, April 03, 2009

Info Bazaart SIWALIMA-UNHAS

Salam persahabatan buat kawan-kawan yang sempat membaca info ini...

Menjelang Rapat Kerja Dewan Presidium SIWALIMA-Unhas yang bakalan digelar (insya Allah) pada Ahad 12 April 2009, maka panitia pelaksana akan mengadakan Bazaart Makanan Khas Maluku bertempat di Kafe Nusa Ina Road, depan Kampus UIM, Jalan Perintis kemerdekaan Makassar.

Acara dimulai sore sampai malam

Menu: Nasi kelapa, papeda, kasbi, gudangan, colo-colo, ikan kuah, hasida dll.

Kawan-kawan, tamang-tamang, kaka, abang, caca, usi, nyong, nona, kaka buu', nyong buu', basudara gandong e, ...

Dong datang ee...
Hari : Selasa
Tanggal: 7 April 2009


tengkyu...

contact person: 081342558925 (Yati)
081242182344 (Ros)






Selengkapnya...

Kamis, April 02, 2009

Kerja Organisasi, Kerja Sejarah

ditulis oleh Rus'an Latuconsina

Kita mengenal dalam pelajaran sejarah yang kita pekuri dan tekuni semenjak sekolah dasar sampai kini berderet-deret nama organisasi pergerakan yang bergerak demi cita-cita kemerdekaan terlepas dari belenggu penjajahan. Sebut saja Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, Indonesische Vereeniging dan lain-lain. Mereka bergerak dengan mengikatkan diri kedalam satuan organisasi sebagai alat perjuangan bersama. Organisasi beserta aktivitas sosial kultural maupun sosial politik itulah dalam etape masa kehidupan peradaban kemanusiaan telah memosilkan jejaknya sebagai penoreh tinta sejarah.

Organisasi tempat beberapa orang menserikatkan dirinya dengan konsensus administratif dan ideologis tertentu memproyeksikan sebuah cita-cita ideal yang akan diperjuangkan untuk dicapai. Konsensus administratif berupa persyaratan yang dijadikan kesepakatan bersama mengenai prasyarat legalitas keanggotaan dengan rasionalitas internal tertentu dipayungi logika ideeologi sebagai pencandra realitas yang tengah dan akan digelutinya. Organisasi berarti berserikat bersama dengan kesalingpengertian atau kesadaran yang dikelola demi proyek pembacaan kekinian dan kemasadepanan.

Imam Ali kw. mengatakan dalam Nahjul Balaghah "Kebenaran yang tidak terorganisir dapat ditumpas oleh kebatilan yang terorganisir". Hal ini menggambarkan pentingnya organisasi ketika menerjuni kawah dinamika ekstremitas sosial yang zalim. Hidup pada zaman yang tak seimbang ini dimana kekuatan eksploitatif "unvisible man" Neoliberalisme selalu menggerogoti kehidupan manusia, mulai aspek ekonomi dan politik sampai kepada aspek budaya, lingkungan dan religiusitas. Sosok 'abstrak' Neoliberalisme ini adalah representasi kekuatan ekonomi pemilik kartel-kartel dagang besar skala global (Transnational Coorporations/ Multinational Coorporations) dengan bekingan World Bank, International Monetary Fund, Asian Development Bank dan lain-lain yang mengendusi secara hegemonik negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) melalui permainan utang luar negeri. Utang luar negeri ini membuat negara kita sangat tergantung dan kemudian diintervensi secara politik. Sudah banyak akibat buruk dari ketergantungan dan pola hubungan yang tidak seimbang antara negara-negara kaya (sentral/utara) dengan negara-negara miskin/berkembang (periferi/selatan) ini.

Sebagai kaum muda Muslim tentunya ada dua hala yang relevan dalam konteks di atas. Pertama adalah sebagai kaum muda (mahasiswa) tentunya mesti memiliki kepekaan (respek) sosial sebagai kaum cendekiawan organik ketika melihat ketidakseimbangan tata kehidupan di depan mata. Ketidakseimbangan ini telah nyata membawa implikasi ketidakadilan. Sebagai agent of social control and change, mahasiswa tak lepas dari peran perlawanan untuk menentang agenda-agenda Neoliberalisme. Bahkan sebagai Muslim, belum sempurna keberislaman sesorang sebelum mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Rasulullah Saw meneladani dengan wacana dan aksi sekaligus, bagaimana menyikapi ketidakadilan. Perlawanan terhadap ketidakadilan dilakukan dengan segenap kekuatan (power) yang dimiliki. Sementara organisasi adalah alat untuk merakit power tersebut.

Kita mengenal Hatta, Sukarno, Tan Malaka, Sjahrir, Haji Agussalim, Natsir, Malcolm X, Sayyid Quthb, Che Guevara, Mao Tse Tung, Lenin, Gerakan Zapatista dan bahkan Rasulullah Muhammad Saw, mereka adalah pelaku-pelaku sejarah yang bergerak dengan mengorganisirkan kekuatan pendobrak sejarah yang tengah mapan (Status Quo). Mereka bergerak terlebih dahulu dengan internalisasi nilai-nilai ideologi yang dipakai memandu jalannya perjuangan. Rasulullah saw terlebih dahulu menanamkan kesadaran aqidah Tauhid kepada kaum muslimin. Setelah pondasi ideologis ini kuat, barulah obor revolusi disuluh sampai membakar habis kemungkaran dan ketidakadilan.

Organisasi hanyalah tempat kita berproses. Ibarat kafilah di tanduk sahara, kita singgah sebentar saja untuk menyegarkan dahaga dalam perjalanan panjang menuju keridhaan pemilik langit, pemilik bumi, pemilik waktu, pemilik sejarah, pemilik eksistensi dan pemilik segala wujud ini, Allah swt. Organisasi tempat kita belajar sebentar saja. Saling berbagi, belajar, nasihat-menasihati untuk konsistensi pada kebenaran dan kesabaran. Organisasi SIWALIMA-UNHAS tempat belajar, bersaudara dan berjuang bagi pemanifestasian universalitas Islam.


Selengkapnya...

Senin, Maret 30, 2009

Jelang Raker, Warga SIWALIMA-UNHAS tetap Semangat

ditulis oleh administrator

Menjelang RaPat Kerja (Raker) Dewan Presidium Serikat Mahasiswa Muslim Maluku Universitas Hasanuddin (SIWALIMA-UNHAS), warga SIWALIMA-UNHAS terlihat tetap antusias dan semangat ingin menyukseskan acara yang dimaksudkan untuk merumuskan program kerja satu periode kepengurusan itu. Rapat sore telah digelar dua kali pasca Kongres I tanggal 21-22 Maret 2009. Rapat digelar di gedung IPTEKS (28 Maret 2009) dan pelataran Baruga kampus Unhas hari ini (30 Maret 2009). Rencananya rapat kembali digelar pada Rabu lusa di elataran Baruga Unhas.

Antusiaisme dan semangat warga SIWALIMA-UNHAS terlihat pada banyaknya peserta rapat dan keinginan untuk bekerja sebagai panitia dalam menyukseskan Raker nantinya. Ketua panitia yang ditunjuk adalah Sumiyati Tuanaya telah menyatakan siap untuk menyukseskan bersama teman-teman panitia hajatan besar yang menurut rencana bakalan dilaksanakan di pelataran Gedung IPTEKS Unhas ini. Rapat dilaksanakan sore tadi mengagendakan modus pencarian dana lewat Bazaart makanan khas Ambon. Bazaart direncanakan pada tanggal 7 April 2009 (Selasa) sore sampai malam di Nusa Ina Cafe, Jalan Perintis Kemerdekaan, depan Kampus Universitas Islam Makassar (UIM).

Raker kali ini akan digabungkan dengan acara Makan Patitah bersama keluarga SIWALIMA-UNHAS. Nilai-nilai kebersamaan dalam acara Makan Patitah atau makan bersama ini diharapkan dirasakan oleh seluruh keluarga besar SIWALIMA-UNHAS. Acara Makan Patitah rencananya dihadiri oleh para sesepuh yang tergabung dalam Dewan Penasihat Organisasi.


Selengkapnya...

Rabu, Maret 25, 2009

Bukan Organda Biasa


ditulis oleh administrator

SIWALIMA-UNHAS lahir sebagai jawaban atas kebutuhan sekelompok mahassiswa muslim asal Maluku yang kuliah di Unhas Makassar. Pada 18 Februari 2009 SIWALIMA-UNHAS dideklarasikan secara terbuka disertai diskusi gerakan mahasiswa dengan mengundang beberapa elemen pergerakan mahassiswa di kampus Unhas. Sebut saja KAMMI, LMND, UKPM-UH (persma), BEM-BEM se-Unhas dan beberapa organisasi daerah Sulsel.

Penegasan identitas sebagai organisasi pergerakan dirumuskan pada kongres pertama pada tanggal 21-22 Maret 2009 di Bantimurung, Kabupaten Maros. SIWALIMA-UNHAS bersifat independen dan memproyeksikan gerakannya pada dua aras vital yang saling menguatkan, yakni perkaderan dan perjuangan. Pada aras perkaderan ditekankan penguatan kapasitas kader beserta instrumen kelembagaannya seiring progresivitas pada horizon perjuangan senantiasa dikedepankan untuk mengaktualisasikan tanggung jawab kecendekiaan yang secara humanis dan teologis menjadi amanah siapa saja kaum intelektual.

Usia baru balita, namun hal ini bukanlah penghalang untuk menegaskan peran-peran kecil yang meresonansikan tradisi perlawanan terhadap manifestasi neokolonialisme dan neoimperialisme dalam bentuk agenda neoliberalisme. Warna daerah Maluku semata sebagai basis persekawanan dan bukanlah berarti sektarianisme dan primordialisme. Di manapun ketika perlawanan terhadap kezaliman hendak dibuat, maka dibutuhkan pembangunan organisasi sebagai wadah untuk menyatukan dalam satu serikat yang kuat, entah itu berbasis mahasiswa, petani, kaum marjinal, pekerja dan lain-lain termasuk persekawanan berbasis asal daerah. Kita pernah membaca pada sejarah pra Kemerdekaan Republik Indonesia, dimana kaum pemuda mengorganisasikan dirinya berbasis identitas asal daerah. Sebut saja Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Minahasa dan lain-lain. Gaung yang ditunjukkan ketika itu adalah semangat nasionalisme untuk mengusir penjajahan Eropa.

Pada konteks perjuangan, SIWALIMA-UNHAS memiliki tantangan besar yang harus disikapi dengan semangat dan istiqomah. Torehan yang terbaik bagi sejarah kemanusiaan adalah pilihan terbaik bagi eksistensinya menapaki jaman yang sangat kompleks. Oleh karena itu dua hal yang segera harus dilakukan yaitu secara intensif melakukan penguatan wacana, sharing informasi dan perluasan relasi dan jaringan lembaga serta turut proaktif merespon masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan penindasan atas rakyat yang dilemahkan secara sistemik. Sikap ini perlu ditempuh sebgai proyeksi dari tujuan serikat ini dibentuk, yakni "Terbinanya mahasiswa Muslim Maluku menjadi insan raushan fiqr yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Swt." SIWALIMA-UNHAS tak sekedar organisasi ngumpul-ngumpul yang fanatik dengan asal kampungnya, akan tetapi lebih dari itu SIWALIMA-UNHAS adalah serikat persekawanan yang berorientasi pergerakan.

Salam Siwalima...!!!






Selengkapnya...

Senin, Maret 23, 2009

SIWALIMA-UNHAS Harus Menjadi Pelopor



ditulis oleh Rus'an Latuconsina

Sudah banyak organisasi kaum muda yang berbasis identitas Maluku sejak beberapa dekade lalu sampai sekarang. Jauh sebelum kemerdekaan, kaum muda Maluku pernah punya Djong Ambon. Saat ini organisasi Kemahasiswaan/Kepemudaan Maluku (OKKM) bertebaran di beberapa kota besar di Indonesia seperti Makassar, Yogyakarta, Malang, surabaya Jakarta dan Ambon. Bahkan beberapa tahun lalu telah dibentuk OKKM tingkat nasional yang bernama Simpul Gerakan Mahasiswa Maluku seluruh Indonesia (SGMMI). Banyaknya kaum muda Maluku dengan organisasinya ini adalah sebuah potensi besar yang positif bagi Maluku dan pembangunan bangsa secara umum.

SGMMI sebagai payung gerakan mahasiswa Maluku seluruh Indonesia dengan kenyataan yang sangat memprihatinkan sekarang ini patut untuk direfleksikan bersama. Ketika SGMMI yang baru lahir itu dibiarkan mati suri saja maka mubazirlah pondasi awal yang telah ditanam oleh para pendirinya. Semestinya simpul nasional itu dihidupkan kembali agar bisa mewadahi, mengkanalisasi, menyatukan dan mendinamisir gerakan mahasiswa Maluku.

Wadah tingkat nasional sangat strategis dalam menyatukan ide dan sikap disamping sebagai kanal aktualisasi potensi besar yang progresif dari mahasiswa Maluku yang plural dan tersebar di setiap langgam pergerakan. Dinamika memerlukan katalisator yang terbentuk secara sistematis dalam bentuk organisasi. Di balik idealitas proyeksi itu, SGMMI kini tengah mati suri dan tidak jelas. Kenyataan ini adalah pil pahit gerakan mahasiswa maluku, terlebih mahasiswa yang sadar sebagai agent of social control and change.

SIWALIMA-UNHAS harus bercermin dari kegagalan SGMMI dalam mendinamisir dirinya. Jangan hanya karena perebutan posisi jabatan di struktur mengakibatkan friksi dan polarisasi antar warga serikat. Hal ini harus diupayakan sepreventif mungkin secara sistematis mengakomodir semua libido jabatan yang ada dengan mengkanalisasikannya lewat penyamarataan status pimpinan sehingga menghilangkan hak istimewa jabatan yang paling tinggi. SIWALIMA-UNHAS yang menerapkan model struktur Dewan Presidium tanpa jabatan ketua umum diharapkan lebih bersifat partisipatif, nuansa egalitarian sensing lebih kuat dan memiliki kepercayaan diri yang sama tinggi antar sesama pejabat divisi. Langkah yang ditempuh ini semoga menjadi langkah awal mendeterminasikan pola yang sama pada jejaring antar presidium kota dan jejaring nasional antar kota yang direncanakan.

Sudah saatnya dibangun struktur baru yang lebih egaliter untuk menghimpun dalam satu kota organisasi-organisasi mahasiswa Maluku di kota-kota besar di Indonesia sebelum kemudian membangun satu jejaring antar kota dengan model struktur yang lebih egaliter tanpa hubungan hierarkhis yang 'elitis'. Sudah tentu tanpa ketua umum karena jabatan ketua umum hanya menjadi rebutan yang memuakkan. Ujung-ujungnya menciptakan kultur lembaga yang tidak sehat.

Membaca kondisi kekinian atas mandeknya SGMMI dan vakumnya ruang aktualisasi dalam kesatuan mahasiswa Maluku pada kota Makassar secara khususnya, maka SIWALIMA-UNHAS harus mengambil peran sebagai pelopor di kota Makassar dengan mendorong secara proaktif terbentuknya sebuah Presidium Kota Serikat Mahasiswa Maluku se-Kota Makassar untuk mendinamisir dan menyatukan ide dan sikap gerakan mahasiswa Maluku se-Kota Makassar. Langkah ini diharapkan memancing sikap positif kawan-kawan mahasiswa Maluku yang ada untuk kembali merefleksikan eksistensi kelembagaannya di tengah tuntutan peran kemahasiswaan masa kini dan masa depan. Tidak sebatas refleksi, namun langkah nyata haruslah terjadi.

Salam Siwalima!!!


Selengkapnya...

Surprise Kecil-kecilan

Ditulis oleh administrator

Kepanitiaan Kongres I SIWALIMA-UNHAS diketuai oleh Mizwar Malawat. Tidak banyak peserta kongres yang tahu hal ini sebelumnya, kecuali yang sudah melihatnya di fesbuk. Ternyata di tanggal 21 Maret ketika kongres itu digelar, ketua panitia kita ini sedang berulang tahun. Maka di tengah kesibukan yang ada, teman-teman panitia dan stering merencanakan surprise kecil-kecilan.

Bisik-bisik bagaimana mengatur jalannya surprise itu sebelum pembukaan Kongres. Ada yang tugasnya menggertak, ada yang membentak, ada yang membela, ada yang mematikan lampu dan ada yang memberikan bingkisan kecil yang dibuat terburu-buru apa adanya. Rokok satu bungkus pun menjadi kado ulang tahun ini. Memang memalukan sih memberikan rokok doang, sebungkus lagi. Yaah, tapi mau apa lagi, keadaan di luar dugaan. Begitulah seorang teman berapoloji dalam rencana itu.

Pada saat ketua panitia yang berulang tahunj ini sedang menyampaikan laporan ketua panitianya, seorang peserta memukul lantai lalu dengan gertakan menyudutkan ketua panitia dengan kata-katanya. Forum menjadi terkaget-kaget atas kondisi ini. Bersambutlah bantahan dari peserta yang lain sampai suasana tegang terlihat. Ketua panitia tak jadi berbicara. Mungkin karena tak disangka kejadian ini insidentil sekali. Tiba-tiba seorang yang duduk dekat saklar mematikan lampu ruangan. Hening sebentar. Tidak lama langsung kado yang amat murah itu dibawa dan diberikan kepada ketua panitia oleh seorang peserta perempuan. Sontak pancingan "happy birthday...' disambut bersama-sama oleh semua peserta dengan suka cita. Yang berulang tahun diguyuri beberapa lembar daun yang dipetik dari luar vila. Jabat tangan sebentar mengisi forum pembukaan itu.

Ketegangan singkat itu berubah menjadi tawa yang menggelikan, terlebih kepada Ketua Panitia. "Terima kasih ...Hampir-hampir beta ambel parang...hehee.." begitulah ekspresinya ketika keterguguannya buyar yang disambut tawa peserta ketika segera mengakhiri laporan panitianya.

Selengkapnya...

Kongres Pertama di Bantimurung




















ditulis oleh administrator

Perhelatan besar SIWALIMA-UNHAS yang pertama sukses dengan suport, partisipasi dan kerjasama semua pihak yang terlibat. Acara ini berlangsung di Taman Wisata Alam Bantimurung, Kabupaten Maros, sebuah tempat rekreasi sekitar satu jam perjalanan di sebelah timur kota Makassar. Kongres pertama ini mengusung tema sentral "Penguatan Internal Lembaga Menuju Perlawanan terhadap Agenda Neoliberalisme".

Sekitar jam lima sore semua peserta yang berjumlah lebih dari tiga puluh orang itu mulai berangkat dengan bis dari kampus Unhas. Setelah sempat singgah shalat maghrib di sebuah mushallah dekat lokasi Kongres, bis perlahan masuk ke lingkungan Taman Wisata. Hari telah gelap dan panitia mempersiapkan ruangan kongres. Spanduk dibentangkan di dinding Vila. Tikar pandan digelar di atas lantai kayu dalam ruangan seukuran lima kali lima meter dengan jendela terbuka dan pintu menghadap bibir sungai mengiraikan kesejukan sabtu malam pada penanggalan 21 Maret 2009.

Dua kamar yang ada digunakan untuk kamar ganti dan dapur bagi panitia. Acara dimulai sekitar jam sembilan malam dengan seremoni pembukaan diatur oleh panitia pelaksana. Kongres dibuka secara resmi oleh Koordinator Badan Persiapan kongres (BPK), Muhammad Alfian setelah laporan ketua panitia oleh Mizwar Malawat. Acara dipandu oleh Master of Ceremony (MC) Siti Arfah. Usai seremoni pembukaan, sidang pleno diserahkan kepada Stering Committee (SC) yang terdiri atas Rus'an Latuconsina, Musharfan Suneth, Nini Rumata, Dian Wasahuwa dan Abdulhaji Talaohu. Sidang pleno I diarahkan oleh SC sampai terpilihnya Pimpinan Sidang Baru. Mereka yang terpilih sebagai pimpinan sidang baru dan memimpin sidang pleno II dan III adalah Diana, Amrullah Umasugi dan Siti Arfah.

Sidang pleno I molor sampai tengah malam akibat serunya dinamika forum yang ditandai oleh hangatnya perdebatan oleh para peserta. Sidang pleno diskorsing dua jam menjelang subuh. Tidur sebentar, peserta lalu shalat subuh dan sesudahnya menikmati indahnya Bantimurung di pagi hari. Sungai deras diapit dua gunung cadas yang hijau di kiri kanannya. Vila yang ditempati berada persis di salah satu kaki gunung cadas itu. Panitia sebagian asyik mencuci peralatan makan dan menyiapkan sarapan. Yang lainnya mengambil gambar, ada pula yang masih melanjutkan sisa tidur nya. Betapa hidup harus dinikmati.

Sidang pleno dilanjutkan dengan pencabutan skorsing sekitar jam delapan pagi. Pleno II ini mengagendakan perumusan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, GBHO, Rekomendasi dan Pembentukan Struktur Kepengurusan. Untuk itu digelarlah sidang Komisi dengan masing-masing komisi yang berjumlah empat itu bersidang merumuskannya. Usai sidang komisi, masing-masing komisis lalu mempresentasikannya di hadapan sidang Pleno. Persidangan pleno mencapai akhir pada saat pembentukan struktur kepengurusan dan sekaligus pelantikan.

SIWALIMA-UNHAS memakai model struktur Dewan Presidium pada struktur kepengurusannya. Dewan Presidium SIWALIMA-UNHAS terdiri atas delapan Divisi dengan masing-masing divisi dikoordinir oleh seorang Koordinator Divisi. Hoordinatyor divisi dibantu oleh beberapa orang Staf Divisi. Dewan Presidium dibantu juga dengan adanya lembaga konsultatif Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) yang terdiri atas tujuh orang. Divisi-divisi yang dibentuk adalah Divisi Pendidikan dan Pelatihan Kader; Divisi Aksi dan Perluasan Jaringan; Divisi Kajian Islam; Divisi Wacana dan Kajian Isu Strategis; Divisi Media dan Produksi Koran dinding,; Divisi Kebendaharaan; Divisi Seni dan Olahraga; dan Divisi Kesekretariatan. Pemilihan model struktur Dewan Presidium ini diharapkan mendorong tingkat partisipasi yang lebih tinggi dari para anggota Dewan Presidium dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai lokomotif serikat ini. Dengan posisinya yang saling setara tanpa struktur yang hierarkhis, para pimpinan Dewan Presidium diharapkan memiliki tanggung jawab yang sama, setara, senasib sepenanggung jawab secara koordinatif.

Setelah pembentukan struktur, pimpinan sidang pleno III diserahkan kepada SC untuk melakukan pelantikan atas Dewan Presidium SIWALIMA-UNHAS Periode 2009-2010. Mereka dilantik oleh Pimpinan Sidang. Usai pelantikan dan setelah ditutupnya persidangan pleno, maka peserta kemudiaan memanfaatkan waktu luang yang ada untuk mandi-mandi dan berpose bareng di sungai. Sekitar jam tujuh malam semuanya kembali ke Makassar mengendarai bis yang disewa dari kampus UVRI itu.
Selengkapnya...

Kamis, Maret 12, 2009

Selengkapnya...

Selasa, Maret 10, 2009

Jelang Kongres SIWALIMA-UNHAS

Rapat warga SIWALIMA-UNHAS di pelataran Baruga AP. Pettarani Unhas telah menyepakati tanggal perhelatan pertama serikat kaum muda muslim Maluku yang kuliah di Unhas ini. Rencananya Kongres I (pertama) ini akan dilaksanakan pada tanggal 21-22 Maret 2009 di Kawasan wisata alam Bantimurung, Kabupaten Maros.

Kongres dipersiapkan oleh Organizing Commitee (OC)yang mengerjakan kebutuhan teknis dan Steering Commitee (SC) yang mempersiapkan segala kebutuhan konsep dan drafting. Keduanya telah berjalan dan selalu di setiap pekan ada pertemuan evaluasi kinerja yang dilakukan di pelataran Baruga AP. Pettarani Unhas, sore hari.

Panitia memanfaatkan sebuah kamar kost yang cukup luas di dekat kampus Unhas milik seorang warga SIWALIMA-UNHAS yang merelakannya dijadikan basecamp sementara. Basecamp untuk keperluan rapat dan pengerjaan agenda kepanitiaan pada waktu pulang kuliah. Warga SIWALIMA-UNHAS yang berjumlah sekitar tiga puluhan (data sementara) itu menunjukkan antusiaisme yang besar atas eksistensi serikat ini. Hal ini terlihat dari keaktifan dan sikap positif mereka saat mengikuti rapat-rapat dan aktivitas lainnya.

Kongres yang pertama ini mengusung tema sentral "Penguatan Internal Lembaga Menuju Perlawanan terhadap Agenda Neoliberalisme". Tema diinseminasi oleh SC melalui rapat SC yang berlangsung pada tanggal 9 Maret 2009 di basecamp. Tema ini menurut koordinator SC (Rus'an Latuconsina), terdiri atas dua gagasan utama yang menjadi modus determinan dalam mengarahkan serikat ini kedepan. Frase yang pertama(Penguatan Internal lembaga) menjadi tahapan pembasisan kader ideologis-progresif yang memiliki kesadaran raushan fikr (intelektual yang tercerahkan) sebagai persiapan menuju proses berikut yang diungkapkan lewat frase kedua (Menuju Perlawanan terhadap Agenda Neoliberalisme). Proses kedua sebagai tahap perjuangan yang tidak terlepas dari tahap pertama. Proses perjuangan membela nilai yang hak dan melawan kemungkaran meniscayakan kader-kader yang telah sadar secara ideologis. Islam sebagai panduan ideologis diinternalisasikan lewat tahapan perkaderan yang didukung oleh perangkat organisasi diproyeksikan memandu kader-kader SIWALIMA-UNHAS turut dalam perjuangan kemanusiaan melawan agenda-agenda neoliberalisme yang bercirikan privatisasi aset negara, deregulasi dan liberalisasi pasar (market liberalization), dimana agenda-agenda neoliberalisme ini telah menggiring negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia kedalam kebangkrutan, baik secara ekonomi, politik maupun sosial budaya. Salah satu agenda neoliberalisme yang tengah membajak dunia pendidikan kita adalah Badan Hukum Pendidikan (BHP) setelah DPR RI mengesahkan RUU BHP yang ditolak berkali-kali oleh mahasiswa dan gerakan rakyat Indonesia pada tanggal 17 Desember 2008 lalu. Mahasiswa Muslim Maluku yang berserikat dalam wadah SIWALIMA-UNHAS ini harus turut sebagai agen perubahan dan agen pengawal nilai menggabungkan diri kedalam barisan perlawanan mahasiswa dan rakyat yang anti neoliberalisme sebagai agenda neo-imperialisme dan neo-kolonialisme.
Selengkapnya...

Senin, Maret 09, 2009

Bazaart Siwalima di Kafe Bambu Kuning

Panitia persiapan Kongres I SIWALIMA-Unhas menggelar bazaart di Kafe Bambu Kuning, jalan Perintis Kemerdekaan, Tamalanrea Makassar pada Ahad tadi (8/3/2009). Acara dimulai sekitar jam delapan sampai jam sebelas malam. Pada saat bazaart berlangsung, sayangnya lampu di kafe itu mati seperti di kawasan Tamalanrea lainnya yang sedang mati. Bersamaan itu hujan deras mengguyur sehingga acara langsung terganggu sampai selesai. Walau begitu, panitia tetap semangat dan teman-teman yang hadir masih bisa mengerti keadaan yang terjadi. Diperkirakan malam itu panitia mengumpulkan dana marjin rejekinya sekitar lima ratus ribu rupiah. Pada saat brifing sesaat sebelum bubar dari kafe, panitia mengaku senang dan bersyukur atas hasil pekerjaannya malam itu meski di satu sisi masih banyak kekuarangan yang harus dibenahi kedepan.



Selengkapnya...

Rabu, Februari 25, 2009

Deklarasi SIWALIMA-UNHAS dan Dialog Pergerakan











Deklarasi SIWALIMA-Unhas berlangsung pada hari Rabu, tanggal 18 Februari 2009 di pelataran Baruga AP.Pettarani Unhas. Deklarasi dimulai sekitar jam tiga sore Wita yang dirangkaikan dengan dialog pergerakan dengan tema "Reposisi Pergerakan Mahasiswa Menyikapi Pemilu 2009".

Naskah deklarasi dibacakan oleh Mizwar Malawat dan dilanjutkan dengan penandatangan naskah oleh delapan orang deklarator. Mereka adalah Mizwar Malawat (FH-UH), Vivi (FKM-UH), Jasman Samanery (FISIP-UH), Arfah (FIPB-UH), Muhammad Alfian (FT-UH), Yamin (FPIK-UH), Musharfan Suneth (FE-UH) dan Rus'an Latuconsina (Fahutan-UH). Acara dihadiri oleh sekitar seratus mahasiswa yang berasal dari Unhas seperti dan kampus lainnya.

Dialog pergerakan dipandu oleh Rus'an Latuconsina yang menghadirkan Andi Faisal (Ketua SEMA Ekonomi UH), Amin (Aktivis UKPM-UH), Muhammad Yusuf (Ketua KAMMI Komsat Unhas) dan Ajiz Talaohu (Siwalima-UH) sebagai pembiacara. Dalam diskusinya terdapat dua arus gagasan yang saling berdialektika, yakni keharusan Golput pada pemilu 2009 sebagai sikap penolakan atas ketidakjelasan agenda nasional yang diperjuangkan oleh elite-elite dan parpol peserta pemilu 2009. Di sisi lain ada pihak peserta diskusi yang menghendaki tidak Golput sebagai satu langkah mengurangi tingkat apatisme politik dan modus infiltrasi sistem dengan mengintervensi status quo perpolitikan yang ada, karena perubahan lebih efektif apabila digelindingkan lewat jalur-jalur demokrasi yang tersedia. Ini bukan jaman ORBA dimana kanal-kanal parlementarisme tertutup bagi agenda pro demokrasi.

Acara berakhir sekitar jam lima sore. Anggota Siwalima kemudian berkumpul untuk mengevaluasi sebentar acara yang baru saja dihelat. Usai berdoa, semuanya bubar dari pelataran baruga menuju kesibukannya masing-masing.



Selengkapnya...

Watak Perguruan Tinggi Kita

ditulis oleh: Nurfa Rosanti*

Pendidikan tinggi kita saat ini memiliki banyak kemajuan. Salah satunya sekarang PTN memiliki otonomi sendiri dalam mengelola kampusnya. Di satu sisi otonomi kampus tersebut merupakan 'perlawanan' terhadap kebijakan Orde Baru. Selama Orba, kebijakan pendidikan sangat terasa nuansa sentralistiknya yang kemudian berakibat pada terpasungnya kebebasan akademik dan kemandirian kampus yang berimbas pada desentralisasi pendidikan.

Namun di sisi lain, dengan adanya otonomi kampus, menjadi mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Image PTN yang identik dengan pendidikan bermutu tinggi, berbiaya murah dan terjangkau kantong mahasiswa dari seluruh lapisan masyarakat ternyata harus dikubur dalam-dalam.
Sebenarnya otonomi kampus sendiri sudah sesuai dengan UU No. 20 th 2004 pasal 24 ayat (3) tentang Sisdiknas bahwa perguruan tinggi dapat memperoleh dana dari masyarakat yang pengelolaannya didasarkan atas akuntabilitas publik. Ini artinya PTN diperbolehkan mengelola asset yang dimilikinya untuk pelaksanaan tridarma perguruan tinggi.
Namun praktek di lapangan justru amat mengerikan. PTN kini tak ubahnya seperti badan komersil yang hanya mengenal untung rugi. Ini dapat dilihat misalnya UNAIR. Salah satu PTN di Jatim ini, yang disoroti publik karena menjadi pemantik dalam membuka kelas ekstensi dan jalur khusus, berani menarik uang gedung calon mahasiswa baru untuk jalur khusus berkisar antara Rp 5 juta- Rp 75 juta.
Kasus Unair hanya contoh kecil. Sebab hampir semua PTN di Jatim ini telah menerapkan hal serupa. Seperti melalui jalur penelurusuran minat dan kemampuan khusus (PMDK) atau yang sering disebut jalur khusus. Artinya calon mahasiswa yang menempuh jalur ini harus membayar dana 'khusus'.
Tak heran jika PTN kemudian menjadi ladang untuk menuntut ilmu bagi calon mahasiswa 'berkantong tebal', tanpa peduli si calon memiliki kapabilitas akademis sesuai dengan standar baku internasional atau tidak. Sebaliknya, seluruh birokrat kampus akan menutup mata, berkura-kura dalam perahu manakala ada calon mahasiswa terdepak dari lingkungan kampus gara-gara kere, walaupun memiliki kemampuan akademik yang mumpuni. Yang penting bisa membayar.
Ini bisa dilihat dari 5,6 juta manusia muda yang berpendidikan SLTA, ternyata hanya 1,6 juta saja yang bisa mengenyam pendidikan tinggi. Sementara lainnya harus rela berijasah SLTA hanya karena terganjal masalah mahalnya biaya pendidikan.
Yang jadi pertanyaan, bermutukah pendidikan mahal itu? Ternyata tidak, tiap tahun PTN melepas ribuan lulusannya kembali ke masyarakat. Tetapi, dari sekian banyak para sarjana sebagian besar justru menjadi pengangguran terpelajar. Mereka berdiri di deretan panjang pencari kerja.
Sebab dunia pendidikan bukan membawa peserta didik (baca: mahasiswa) pada sebuah pencerahan sehingga mampu menjadi manusia yang utuh dengan keahlian-keahlian khusus yang mampu diterapkan dalam masyarakat. Melainkan menyeret mereka dalam kelesuan yang menjemukan.
Selama ini apa saja yang diajarkan di universitas-univesitas hanyalah gagasan yang idealis tanpa mau menyentuh persoalan realitas. Mahasiswa hafal betul teori-teori Alvin Tofler tentang gelombang dunia ketiga, teori Karl Marx, Max Weber, atau teori lainnya. Tetapi mereka tak pernah tahu bagaimana mempraktekannya dalam realitas.
Sehingga wajar saja kalau ada pernyataan yang lebih menyudutkan pendidikan kita. Pendidikan kita anti realitas (karena tidak bisa menghantarkan seseorang menghadapi persoalan yang dihadapinya Musa Asy'ari, 2002;125-130).
Ketika para birokrat pendidikan disuguhi sebuah fenomena mengenai meningkatnya pengangguran sarjana, mereka terkesan lepas tangan. Ungkapan apologis yang sering dilontarkan ke masyarakat justru karena ketidaksiapan SDM dalam menghadapi dunia kerja. Padahal lulusan sarjana itu besar dan dibesarkan dunia yang bernama pendidikan tinggi. Aneh,bukan?
Anehnya lagi, sebenarnya watak perguruan tinggi negeri semacam itu telah lama diketahui masyarakat. Hanya saja keluhan masyarakat atas komesialisasi pendidikan masih sebatas debat warung kopi. Belum ada tindakan praktis untuk menjawab masalah mahalnya pendidikan tersebut. Seakan-akan mereka pasrah dengan kondisi semacam itu. Padahal dalam budaya Jawa diam itu berarti setuju.
Bahkan yang paling naïf, muncul komentar dari kalangan masyarakat sendiri; Kalau mau pintar ya harus mahal!? Padahal sejatinya pendidikan tidak diperjual belikan. Pendidikan merupakan hak semua mahkluk yang berpikir di muka bumi ini!
*) Pemerhati masalah pendidikan; mengajar di SMP Darussyahid Sampang, Madura.

sumber artikel: http://opini-koranpakoles2007.blogspot.com

Selengkapnya...

Perempuan di Titik Nol

ditulis oleh: Ken Ratih Indri Hapsari*

Betapa hati ini tidak sedih dan tersayat. Beberapa waktu lalu, di kota Malang Jawa Timur, Ibu Junania Mersi, berumur 37 tahun melakukan bunuh diri bersama empat anaknya Tania (11), Princesca Laduva (9), Dodo Hendrison (9) dan Gabriel Hanson (2) akibat tekanan ekonomi.
Sang Ibu meminumkan air putih bercampur racun potassium kepada keempat anaknya hingga mereka tewas. Lalu giliran Ny Mercy menenggak air beracun itu sampai tewas. Bunuh diri dianggap pilihan untuk melarikan diri dari beban hidup yang membuatnya tertekan.

Sebagai seorang perempuan, mendengar berita itu saya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menahan amarah. Amarah yang menyala dan terpaksa harus ditekan, tetapi juga menegaskan kesimpulan yang selama ini telah lama saya yakini dalam hati dan pikiran. Sistem sosio-ekonomi dan kebudayaan kita kejam, tidak bisa memberi jalan keluar bagi persoalan eksistensi kemanusiaan. Bahkan justru memasung keberadaan diri, melahirkan jalan buntu bagi tiap orang yang tidak ingin menderita.
Perempuan seperti saya hanya bisa menganalisa, menulis, dan memberikan secuil perhatian dan aktivitas. Mungkin saya bisa bicara tentang gerakan atau perubahan. Tetapi, kebanyakan perempuan di negeri ini selalu berada “di titik nol”—woman in zero point! Bukan hanya buntu karena kurang perhatian dari orang dekat, tetapi juga termarjinalkan oleh sistem perekonomian pasar bebas (neoliberalisme).
Neoliberalisme adalah jalan baru tatanan perekonomian kapitalisme yang selalu menginginkan, pertama-tama, perempuan beramai-ramai membeli produk dan hanya bisa mengonsumsi, terutama agar bisa bergaya hidup seperti ‘nabi-nabi’-nya, yaitu bintang sinetron, penyanyi pop, hingga bintang porno. Kedua, neoliberalisme membayar buruh (pekerja) perempuan dengan upah yang sangat murah karena logika kapitalis adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Jika kaum perempuan selalu digoda untuk membeli dan membeli, sementara mereka tidak hanya mendapatkan upah rendah, tetapi juga kebanyakan tidak mendapatkan apa-apa karena dijauhkan dari proses produksi sosio-ekonomi, muncul ketertekanan, ketergantungan, dan (akhirnya) penindasan.
Ketertekanan harus diatasi dengan melarikan diri (escapism), menyangkal realitas atau mengumpat realitas —keduanya sama-sama melahirkan jiwa yang tidak sehat. Ketergantungan akan membuat daya tawarnya lemah. Saat ini kita menjumpai banyak sekali “parasite eve” (kaum-hawa parasit), hanya merekayasa eksistensi fisik untuk dijual pada budaya, entah agar “laku” (memang dijual?) oleh laki-laki kaya, yang siap mencukupi kebutuhan-kebutuhan dan kesenangan-kesenangannya. Sayang, lelaki yang memilihnya, entah sekedar dijadikan simpanan atau dinikahi, seringkali memanfaatkan hartanya untuk dapat membeli perempuan yang diinginkan.
Tak heran jika kadang juga terjadi berbagai macam kekerasan dan penindasan, karena daya tawar si “parasite eve” hanyalah kecantikan fisik semata.
Dari kasus itu, akar dari keterpinggiran dan ketertindasan sangat ekonomis. Ketika perempuan tersingkir dari wilayah produktif, maka mereka dimasukkan ke wilayah domestik (ranjang, dapur, rumah, dll). Dan, negara masih saja tidak peduli. Tokoh-tokoh masyarakat juga masih memandang bahwa “kelemahan” perempuan adalah “takdir”. Alih-alih ingin melindungi perempuan karena “kelemahannya”, mereka ingin memoligami atau memanfaatkan perempuan untuk kekuasaan negara yang patriarchal.
Padahal perempuan memiliki kasih sayang yang mendalam, ingin melihat anak-anaknya tumbuh dengan baik, sehat, pintar, dan menjadi “orang”—tidak menjadi benda atau binatang.
Ibu Mercy di Malang pun bunuh diri karena tidak tahan melihat penindasan itu. Ia berada di titik nol, dan pada titik itulah ia buntu. Ketika kontradiksi justru membuat pikiran dan hati gelap, menganggap orang lain musuh yang menyangkal dan dianggap tidak mau dimintai bantuan, maka ide individualistik dan eksklusif dalam ruang hidup yang hitam—sebagaimana dikatakan Durkheim—menyebabkan ia mengakhiri hidupnya. Mati adalah pilihan daripada hidup berkalang ketakutan.
Seandainya Ibu Mercy adalah Firdaus dalam novel Nawal Sadawi, Perempuan Di Titik Nol, mungkin kontradiksi justru memberikan ruang bagi penemuan—ia tidak bunuh diri, tetapi memberontak. Mungkin konteks historisnya beda. Melalui tokoh utama Firdaus, seorang perempuan miskin desa yang bermetamorfose menjadi “pekerja seks elite”, Nawal mengajak kita semua berpikir ulang tentang makna pembebasan bagi perempuan.
Siapa sebenarnya sosok perempuan yang bebas itu? Jangan-jangan mereka adalah seorang pekerja seks yang mandiri dan profesional dan bukannya seorang istri yang melayani setia suaminya. Mereka lebih nista. Mereka tidak bisa memilih: mereka lebih tidak bermartabat dari Ibu Mercy yang bunuh diri. Jalan bunuh diri yang dipilih Ibu Mercy memberi pelajaran bagi sejarah; mengabarkan pada negara dan perempuan bahwa kehidupan sekarang buntu, dan butuh pendobrakan atau pemberontakan!
Saya sungguh mengharapkan perempuan bangkit karena kontradiksi semakin kejam dan tak terdamaikan. Perempuan harus mandiri, bangun, dan tidak menggantungkan diri pada lelaki, tetapi justru melawan tatanan yang membelenggu kebebasan nurani.
*) Aktivis KIPAS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember.

sumber artikel: http://opini-koranpakoles2007.blogspot.com/

Selengkapnya...

Sekolah dan Tirani Zaman

ditulis oleh: Rus'an Latuconsina

Sekolah-sekolah konvensional alias sekolah-sekolah tempat kita meniti karir pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi, memang memberikan ruang belajar yang sangat banyak. Namun model pendidikan seperti ini tidak memberikan segalanya, terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek pendidikan yang ‘mencerahkan’ dan ‘membebaskan’. Mencerahkan dan membebaskan

dalam arti bahwa model pendidikan atempat kita menyinggahkan tiga masa eksistensi kita, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja dan kemudian dewasa, tak memberikan secara tuntas pengetahuan mengenai hakikat diri sebagai manusia, posisinya di hadapn alam semesta, di tengah masyarakat dan di hadapan Tuhan Sang Pencipta. Memang pengetahuan mengenai ini sudah diperoleh, namun tidak egitu kuat.




Pengetahuan mengenai entitas-entitas eksistensial atau wujud-wjud itu diajarkan, namun bukan menjadikan pelajar sebagai manusia yang bakal menuju jati diri paripurna, akan tetapi hanya berupa transfer pengetahuan dua arah yang serba procedural. Kurikulum belajar mengajar berlaku di lembaga pendidikan sesuai dengan konstruksi kuasa dan kepentingan pihak penguasa (Michel Foucoult), dalam hal ini pihak Departemen Pendidikan Nasional seagai yang lebih berkompeten

Pemerintah membutuhkan kerjasama dengan investor, baik local maupun asing untk pembiayaan pembangunan. Olehnya itu mau tidak mau, pemerintah harus menjalin kerjasama itu, dengan apa pun prinsip kerjasamanya. Suntikan dana pun mengalir dari lembaga-lembaga donor internasional, misla IMF, ADB, Paris Club dan lain-lain, mana hubungan tersebut tidaklah bebas kepentingan dan intervensi. Pemerintah kita mendapatkan dana meski dalam bentuk utang. Sebelumnya memang pemerintah telah mewarisi beban peninggalan zaman Orde Baru (ORBA) untuk segunung utang luar negeri. Dampaknya, mereka memikul beban laten utang lama, pada saat yang sama membuat utang baru.


Satu kesalahan besar yang dibuat oleh pemerintah, mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati dan saat ini (SBY) adalah ketika mereka semua gagal mengadili para koruptor besar serta menyita harta Negara yang raib itu, demi kenaikan kesejahteraan rakyat ataukah pembayaran utang luar negeri. Keterpurukan yang dialami oleh bangsa kita dalam bidang ekonomi membawa dampak banyak hal, salah satunya terjadi degradasi harga diri bangsa di mata kawan-kawan bangsa lain di dunia. Memang korupsi telah membutakan hati nurani sebagian para pemimpin bangsa bahkan telah menjadi virus yang membudaya di tengah perilaku warga negara.


Kembali ke masalah pendidikan kita. Akibat dari kebijakan pemerintah yang telah bekerja sama dengan pihak pemilik privilege dalam transformasi besar ekonomi global, yakni korporasi-koreporasi besar lintas Negara (Transntional Corporation/ Multinational Corporation) serta badan-badan donor yang semuanya berafilisai kepada agenda globalisasi perdagangan dan ekonomi yang meniscayakan lieralisasi secara massif di segala sector kehidupan (neoliberalisme), makasetali tiga uang kebijakan politik level elite tersebut pasti aan merambah secara pervasive banyak sektor kehidupan masyarakat, termasuk sector pendidikan. Makanya pemerintah harus menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kepentingan masa depan dunia baru, pasar bebas. Artinya, pemerintah akan mendidik anak-anak bangsanya menjadi bidak-bidak lapangan yang siap lebur dalam dunia pasar global yang serba terbuka, mondial dan bebas berdasarkan nilai-nilai hidup (ideology) kapitalisme. Dalam pasar bebas dunia ini, yang menjadi titik tekan adalah kebebasan memproduksi dan kebebasan persaingan perebutan pasar. Sesuai dengan sifat kapitalisme yang meniscayakan merkantilisme sebagai orde puncak, pasar bebas yang didorong para agen kapitalis dunia itu akan menjadikan lulusan-lulusan sekolah sebagai tenaga teknis atau sebagai pekerja-pekerja terampil sesuai dengan kualifikasinya. Dunia kerja telah disiapkan oleh agen-agen pemilik modal besar. Sekolah akan menyuplai tenaga kerja. Berarti hanya sekolah yang mengajarkan keterampilan sesuai keuthan pasar kerja (industri) saja yang bias dipakai. Bagi yang di luar kualifikasi it, cari sendiri tempat kerja lain. Interaksi dalam level global antara sekolah dngan pihak pemodal inilah yang kemudian membawa efek reduksi besar-besaran terhadap hakikat sekolah sebagai dunia pendidikan secara manusiawi. Partnership antara sekolah dengan pemilik modal ini menjadi hubungan yang tidak seimbang, menciptakan ketergantungan yang sungguh parah. Seolah-olah tak ada lagi alternative lain sebagai dunia kerja tanpa keluar dari logika pasar erja yang hegemonic ini. Ia menjadi taken for granted. Ada adagium popular di masyarakat kita, rupanya menjadi tren abadi yang melekat secara apriori, dalam rupa penganggap-remehan seseorang lulusan sekolah, lantaran belum memperoleh pekerjaan berdasarkan rujukan ‘baku’ dan ‘standar’ mereka.


Kapitalisme menawarkan, bahkan memaksakan kepentingannya melalui injeksi ideologis (kesadaran palsu) ke tengah masyarakat yang ter-massakan (Baudrillard). Ia menginvasi kesadaran secara filosofis, nalar instrumental yang ameniscayakan saintisasai dan teknologisasi kehidupan demi mengukuhkan kekuasaannya. Interaksi apapun yang dilakukan dalam spectrum variasi yang beragam baiasaya tidak steril dari bias kepentingannya yang merupakan fungsi ekspansif ideology keserakahan kapitalisme. Perkembangan ilmu dan teknologi sebagai hasil pergulatan sekolah pun kemudian mengarah kepada saintisme yang secara hegemoni memberi defenisi baku verifikasi keilmiahan serta memandang skeptis metode ilmiah alternative di luar stardar (metode ilmiah) tersebut. Arogansi inilah yang rupanya telah menggiring kepada penggunaan teknologi yang bebas nilai. Eliminasinya aspek nilai (moralitas, etika) inilah menyebabkan peradaban Barat menjulang tinggi dengan penh gemerlap dan kecanggihannya, namun sangat liar. Moralitas yang memang secara histories telah menjadi momok bagi spirit kebebasan (liberte) semenjak terkungkung dalam masa the Dark Age yang jumud. Pertadaban Barat sebagai produk sekolah dan muara dari arus besar Renaissance dan Aufklarung yang mendewakan rasionalitas, yang kemudian dalam perkembangannya mengarah kepada tren rasionalitas instrumental yang reduksionis dan hampa spiritualitas seperti tercetaknya manusia-manusia mesin (Herbert Marcuse).


Sekolah adalh tempat dimana kita belajar banyak hal. Sekolah biasanya tergantung kepada metode yang dipakai. Metode konvensional yang berorientasi pasar kerja, memang di satu sisi sangat baik untuk pelajarnya sebagai bekal keterampilan mendapatkan pekerjaan yang implikasina positif bagi kesejahtraan keluarga, namun kalkulasi globalnya adalah sangat merugikan secara sistematis bagi kita sebagai bangsa yang elum mapan dalam hal ekonomi, sebaliknya sangat menguntungkan pihak pemilik modal. Kondisi ini memang disadar sangat dilematis untuk tingkatan mikro atau pribadi sebagai manusia yang sedang bersekolah. Namun ini adalah kenyataan. Kenyataan yang timpang secara makro dan sistematis. Olehnya itu pemerintah haruslah mengambil tindakan yang berani demi melawan agenda-agenda kapitalisme ini. Agenda ini telah nyata sangat destruktif dan olehnya iu mnejadi biang ketidakadilan secara global, termasuk bagi Negara kita.


Karena sekolah yang berwatak pasar demikian, maka alternatifnya adalah tidak berhenti belajar di bawah kurikulum yang berorientasi pasar tersebut. Karena kalau hanya demikian, maka kita akan terjebak di tengah agenda kapitalime global yang tengah menyeret dunia sekolah kita ke sana, yang mengarah kepada program-program liberalisasi yang memiskinkan dan mnciptakan pengutang-pengutang abadi berserakan di muka bumi dalam tampang lusuh Negara-negara miskin dan berkembang. Sekolah haruslah yang tidak menggiring kepada ketidak adilan global. Sekolah haruslah menjadi salah satu benteng masyarakat dalam hal moralitas intelektual. Sekolah harus menjadi tempat belajar melawan ketidakadilan. Sekolah harus dapat mengemansipasi kondisi social yang muram. Sekolah haruslah menjadi tempat berbicara dengan hati nurani untuk berteriak dan siap menjadi martir atas sebuah cita-cita besar tetang kebenaran dan keadilan. Sekolah tidak boleh menjadi tempat mengajarkan sifat-sifat pengecut kepada anak bangsa di saat di depan mata terdapat tirani social. Marilah bersekolah di mana saja dan kapan saja, sebelum malaikat maut menghampiri kita. Selamat belajar.


Tamalanrea, 6 November 2007

Selengkapnya...