Rabu, Februari 25, 2009

Deklarasi SIWALIMA-UNHAS dan Dialog Pergerakan











Deklarasi SIWALIMA-Unhas berlangsung pada hari Rabu, tanggal 18 Februari 2009 di pelataran Baruga AP.Pettarani Unhas. Deklarasi dimulai sekitar jam tiga sore Wita yang dirangkaikan dengan dialog pergerakan dengan tema "Reposisi Pergerakan Mahasiswa Menyikapi Pemilu 2009".

Naskah deklarasi dibacakan oleh Mizwar Malawat dan dilanjutkan dengan penandatangan naskah oleh delapan orang deklarator. Mereka adalah Mizwar Malawat (FH-UH), Vivi (FKM-UH), Jasman Samanery (FISIP-UH), Arfah (FIPB-UH), Muhammad Alfian (FT-UH), Yamin (FPIK-UH), Musharfan Suneth (FE-UH) dan Rus'an Latuconsina (Fahutan-UH). Acara dihadiri oleh sekitar seratus mahasiswa yang berasal dari Unhas seperti dan kampus lainnya.

Dialog pergerakan dipandu oleh Rus'an Latuconsina yang menghadirkan Andi Faisal (Ketua SEMA Ekonomi UH), Amin (Aktivis UKPM-UH), Muhammad Yusuf (Ketua KAMMI Komsat Unhas) dan Ajiz Talaohu (Siwalima-UH) sebagai pembiacara. Dalam diskusinya terdapat dua arus gagasan yang saling berdialektika, yakni keharusan Golput pada pemilu 2009 sebagai sikap penolakan atas ketidakjelasan agenda nasional yang diperjuangkan oleh elite-elite dan parpol peserta pemilu 2009. Di sisi lain ada pihak peserta diskusi yang menghendaki tidak Golput sebagai satu langkah mengurangi tingkat apatisme politik dan modus infiltrasi sistem dengan mengintervensi status quo perpolitikan yang ada, karena perubahan lebih efektif apabila digelindingkan lewat jalur-jalur demokrasi yang tersedia. Ini bukan jaman ORBA dimana kanal-kanal parlementarisme tertutup bagi agenda pro demokrasi.

Acara berakhir sekitar jam lima sore. Anggota Siwalima kemudian berkumpul untuk mengevaluasi sebentar acara yang baru saja dihelat. Usai berdoa, semuanya bubar dari pelataran baruga menuju kesibukannya masing-masing.



Selengkapnya...

Watak Perguruan Tinggi Kita

ditulis oleh: Nurfa Rosanti*

Pendidikan tinggi kita saat ini memiliki banyak kemajuan. Salah satunya sekarang PTN memiliki otonomi sendiri dalam mengelola kampusnya. Di satu sisi otonomi kampus tersebut merupakan 'perlawanan' terhadap kebijakan Orde Baru. Selama Orba, kebijakan pendidikan sangat terasa nuansa sentralistiknya yang kemudian berakibat pada terpasungnya kebebasan akademik dan kemandirian kampus yang berimbas pada desentralisasi pendidikan.

Namun di sisi lain, dengan adanya otonomi kampus, menjadi mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Image PTN yang identik dengan pendidikan bermutu tinggi, berbiaya murah dan terjangkau kantong mahasiswa dari seluruh lapisan masyarakat ternyata harus dikubur dalam-dalam.
Sebenarnya otonomi kampus sendiri sudah sesuai dengan UU No. 20 th 2004 pasal 24 ayat (3) tentang Sisdiknas bahwa perguruan tinggi dapat memperoleh dana dari masyarakat yang pengelolaannya didasarkan atas akuntabilitas publik. Ini artinya PTN diperbolehkan mengelola asset yang dimilikinya untuk pelaksanaan tridarma perguruan tinggi.
Namun praktek di lapangan justru amat mengerikan. PTN kini tak ubahnya seperti badan komersil yang hanya mengenal untung rugi. Ini dapat dilihat misalnya UNAIR. Salah satu PTN di Jatim ini, yang disoroti publik karena menjadi pemantik dalam membuka kelas ekstensi dan jalur khusus, berani menarik uang gedung calon mahasiswa baru untuk jalur khusus berkisar antara Rp 5 juta- Rp 75 juta.
Kasus Unair hanya contoh kecil. Sebab hampir semua PTN di Jatim ini telah menerapkan hal serupa. Seperti melalui jalur penelurusuran minat dan kemampuan khusus (PMDK) atau yang sering disebut jalur khusus. Artinya calon mahasiswa yang menempuh jalur ini harus membayar dana 'khusus'.
Tak heran jika PTN kemudian menjadi ladang untuk menuntut ilmu bagi calon mahasiswa 'berkantong tebal', tanpa peduli si calon memiliki kapabilitas akademis sesuai dengan standar baku internasional atau tidak. Sebaliknya, seluruh birokrat kampus akan menutup mata, berkura-kura dalam perahu manakala ada calon mahasiswa terdepak dari lingkungan kampus gara-gara kere, walaupun memiliki kemampuan akademik yang mumpuni. Yang penting bisa membayar.
Ini bisa dilihat dari 5,6 juta manusia muda yang berpendidikan SLTA, ternyata hanya 1,6 juta saja yang bisa mengenyam pendidikan tinggi. Sementara lainnya harus rela berijasah SLTA hanya karena terganjal masalah mahalnya biaya pendidikan.
Yang jadi pertanyaan, bermutukah pendidikan mahal itu? Ternyata tidak, tiap tahun PTN melepas ribuan lulusannya kembali ke masyarakat. Tetapi, dari sekian banyak para sarjana sebagian besar justru menjadi pengangguran terpelajar. Mereka berdiri di deretan panjang pencari kerja.
Sebab dunia pendidikan bukan membawa peserta didik (baca: mahasiswa) pada sebuah pencerahan sehingga mampu menjadi manusia yang utuh dengan keahlian-keahlian khusus yang mampu diterapkan dalam masyarakat. Melainkan menyeret mereka dalam kelesuan yang menjemukan.
Selama ini apa saja yang diajarkan di universitas-univesitas hanyalah gagasan yang idealis tanpa mau menyentuh persoalan realitas. Mahasiswa hafal betul teori-teori Alvin Tofler tentang gelombang dunia ketiga, teori Karl Marx, Max Weber, atau teori lainnya. Tetapi mereka tak pernah tahu bagaimana mempraktekannya dalam realitas.
Sehingga wajar saja kalau ada pernyataan yang lebih menyudutkan pendidikan kita. Pendidikan kita anti realitas (karena tidak bisa menghantarkan seseorang menghadapi persoalan yang dihadapinya Musa Asy'ari, 2002;125-130).
Ketika para birokrat pendidikan disuguhi sebuah fenomena mengenai meningkatnya pengangguran sarjana, mereka terkesan lepas tangan. Ungkapan apologis yang sering dilontarkan ke masyarakat justru karena ketidaksiapan SDM dalam menghadapi dunia kerja. Padahal lulusan sarjana itu besar dan dibesarkan dunia yang bernama pendidikan tinggi. Aneh,bukan?
Anehnya lagi, sebenarnya watak perguruan tinggi negeri semacam itu telah lama diketahui masyarakat. Hanya saja keluhan masyarakat atas komesialisasi pendidikan masih sebatas debat warung kopi. Belum ada tindakan praktis untuk menjawab masalah mahalnya pendidikan tersebut. Seakan-akan mereka pasrah dengan kondisi semacam itu. Padahal dalam budaya Jawa diam itu berarti setuju.
Bahkan yang paling naïf, muncul komentar dari kalangan masyarakat sendiri; Kalau mau pintar ya harus mahal!? Padahal sejatinya pendidikan tidak diperjual belikan. Pendidikan merupakan hak semua mahkluk yang berpikir di muka bumi ini!
*) Pemerhati masalah pendidikan; mengajar di SMP Darussyahid Sampang, Madura.

sumber artikel: http://opini-koranpakoles2007.blogspot.com

Selengkapnya...

Perempuan di Titik Nol

ditulis oleh: Ken Ratih Indri Hapsari*

Betapa hati ini tidak sedih dan tersayat. Beberapa waktu lalu, di kota Malang Jawa Timur, Ibu Junania Mersi, berumur 37 tahun melakukan bunuh diri bersama empat anaknya Tania (11), Princesca Laduva (9), Dodo Hendrison (9) dan Gabriel Hanson (2) akibat tekanan ekonomi.
Sang Ibu meminumkan air putih bercampur racun potassium kepada keempat anaknya hingga mereka tewas. Lalu giliran Ny Mercy menenggak air beracun itu sampai tewas. Bunuh diri dianggap pilihan untuk melarikan diri dari beban hidup yang membuatnya tertekan.

Sebagai seorang perempuan, mendengar berita itu saya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menahan amarah. Amarah yang menyala dan terpaksa harus ditekan, tetapi juga menegaskan kesimpulan yang selama ini telah lama saya yakini dalam hati dan pikiran. Sistem sosio-ekonomi dan kebudayaan kita kejam, tidak bisa memberi jalan keluar bagi persoalan eksistensi kemanusiaan. Bahkan justru memasung keberadaan diri, melahirkan jalan buntu bagi tiap orang yang tidak ingin menderita.
Perempuan seperti saya hanya bisa menganalisa, menulis, dan memberikan secuil perhatian dan aktivitas. Mungkin saya bisa bicara tentang gerakan atau perubahan. Tetapi, kebanyakan perempuan di negeri ini selalu berada “di titik nol”—woman in zero point! Bukan hanya buntu karena kurang perhatian dari orang dekat, tetapi juga termarjinalkan oleh sistem perekonomian pasar bebas (neoliberalisme).
Neoliberalisme adalah jalan baru tatanan perekonomian kapitalisme yang selalu menginginkan, pertama-tama, perempuan beramai-ramai membeli produk dan hanya bisa mengonsumsi, terutama agar bisa bergaya hidup seperti ‘nabi-nabi’-nya, yaitu bintang sinetron, penyanyi pop, hingga bintang porno. Kedua, neoliberalisme membayar buruh (pekerja) perempuan dengan upah yang sangat murah karena logika kapitalis adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Jika kaum perempuan selalu digoda untuk membeli dan membeli, sementara mereka tidak hanya mendapatkan upah rendah, tetapi juga kebanyakan tidak mendapatkan apa-apa karena dijauhkan dari proses produksi sosio-ekonomi, muncul ketertekanan, ketergantungan, dan (akhirnya) penindasan.
Ketertekanan harus diatasi dengan melarikan diri (escapism), menyangkal realitas atau mengumpat realitas —keduanya sama-sama melahirkan jiwa yang tidak sehat. Ketergantungan akan membuat daya tawarnya lemah. Saat ini kita menjumpai banyak sekali “parasite eve” (kaum-hawa parasit), hanya merekayasa eksistensi fisik untuk dijual pada budaya, entah agar “laku” (memang dijual?) oleh laki-laki kaya, yang siap mencukupi kebutuhan-kebutuhan dan kesenangan-kesenangannya. Sayang, lelaki yang memilihnya, entah sekedar dijadikan simpanan atau dinikahi, seringkali memanfaatkan hartanya untuk dapat membeli perempuan yang diinginkan.
Tak heran jika kadang juga terjadi berbagai macam kekerasan dan penindasan, karena daya tawar si “parasite eve” hanyalah kecantikan fisik semata.
Dari kasus itu, akar dari keterpinggiran dan ketertindasan sangat ekonomis. Ketika perempuan tersingkir dari wilayah produktif, maka mereka dimasukkan ke wilayah domestik (ranjang, dapur, rumah, dll). Dan, negara masih saja tidak peduli. Tokoh-tokoh masyarakat juga masih memandang bahwa “kelemahan” perempuan adalah “takdir”. Alih-alih ingin melindungi perempuan karena “kelemahannya”, mereka ingin memoligami atau memanfaatkan perempuan untuk kekuasaan negara yang patriarchal.
Padahal perempuan memiliki kasih sayang yang mendalam, ingin melihat anak-anaknya tumbuh dengan baik, sehat, pintar, dan menjadi “orang”—tidak menjadi benda atau binatang.
Ibu Mercy di Malang pun bunuh diri karena tidak tahan melihat penindasan itu. Ia berada di titik nol, dan pada titik itulah ia buntu. Ketika kontradiksi justru membuat pikiran dan hati gelap, menganggap orang lain musuh yang menyangkal dan dianggap tidak mau dimintai bantuan, maka ide individualistik dan eksklusif dalam ruang hidup yang hitam—sebagaimana dikatakan Durkheim—menyebabkan ia mengakhiri hidupnya. Mati adalah pilihan daripada hidup berkalang ketakutan.
Seandainya Ibu Mercy adalah Firdaus dalam novel Nawal Sadawi, Perempuan Di Titik Nol, mungkin kontradiksi justru memberikan ruang bagi penemuan—ia tidak bunuh diri, tetapi memberontak. Mungkin konteks historisnya beda. Melalui tokoh utama Firdaus, seorang perempuan miskin desa yang bermetamorfose menjadi “pekerja seks elite”, Nawal mengajak kita semua berpikir ulang tentang makna pembebasan bagi perempuan.
Siapa sebenarnya sosok perempuan yang bebas itu? Jangan-jangan mereka adalah seorang pekerja seks yang mandiri dan profesional dan bukannya seorang istri yang melayani setia suaminya. Mereka lebih nista. Mereka tidak bisa memilih: mereka lebih tidak bermartabat dari Ibu Mercy yang bunuh diri. Jalan bunuh diri yang dipilih Ibu Mercy memberi pelajaran bagi sejarah; mengabarkan pada negara dan perempuan bahwa kehidupan sekarang buntu, dan butuh pendobrakan atau pemberontakan!
Saya sungguh mengharapkan perempuan bangkit karena kontradiksi semakin kejam dan tak terdamaikan. Perempuan harus mandiri, bangun, dan tidak menggantungkan diri pada lelaki, tetapi justru melawan tatanan yang membelenggu kebebasan nurani.
*) Aktivis KIPAS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember.

sumber artikel: http://opini-koranpakoles2007.blogspot.com/

Selengkapnya...

Sekolah dan Tirani Zaman

ditulis oleh: Rus'an Latuconsina

Sekolah-sekolah konvensional alias sekolah-sekolah tempat kita meniti karir pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi, memang memberikan ruang belajar yang sangat banyak. Namun model pendidikan seperti ini tidak memberikan segalanya, terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek pendidikan yang ‘mencerahkan’ dan ‘membebaskan’. Mencerahkan dan membebaskan

dalam arti bahwa model pendidikan atempat kita menyinggahkan tiga masa eksistensi kita, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja dan kemudian dewasa, tak memberikan secara tuntas pengetahuan mengenai hakikat diri sebagai manusia, posisinya di hadapn alam semesta, di tengah masyarakat dan di hadapan Tuhan Sang Pencipta. Memang pengetahuan mengenai ini sudah diperoleh, namun tidak egitu kuat.




Pengetahuan mengenai entitas-entitas eksistensial atau wujud-wjud itu diajarkan, namun bukan menjadikan pelajar sebagai manusia yang bakal menuju jati diri paripurna, akan tetapi hanya berupa transfer pengetahuan dua arah yang serba procedural. Kurikulum belajar mengajar berlaku di lembaga pendidikan sesuai dengan konstruksi kuasa dan kepentingan pihak penguasa (Michel Foucoult), dalam hal ini pihak Departemen Pendidikan Nasional seagai yang lebih berkompeten

Pemerintah membutuhkan kerjasama dengan investor, baik local maupun asing untk pembiayaan pembangunan. Olehnya itu mau tidak mau, pemerintah harus menjalin kerjasama itu, dengan apa pun prinsip kerjasamanya. Suntikan dana pun mengalir dari lembaga-lembaga donor internasional, misla IMF, ADB, Paris Club dan lain-lain, mana hubungan tersebut tidaklah bebas kepentingan dan intervensi. Pemerintah kita mendapatkan dana meski dalam bentuk utang. Sebelumnya memang pemerintah telah mewarisi beban peninggalan zaman Orde Baru (ORBA) untuk segunung utang luar negeri. Dampaknya, mereka memikul beban laten utang lama, pada saat yang sama membuat utang baru.


Satu kesalahan besar yang dibuat oleh pemerintah, mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati dan saat ini (SBY) adalah ketika mereka semua gagal mengadili para koruptor besar serta menyita harta Negara yang raib itu, demi kenaikan kesejahteraan rakyat ataukah pembayaran utang luar negeri. Keterpurukan yang dialami oleh bangsa kita dalam bidang ekonomi membawa dampak banyak hal, salah satunya terjadi degradasi harga diri bangsa di mata kawan-kawan bangsa lain di dunia. Memang korupsi telah membutakan hati nurani sebagian para pemimpin bangsa bahkan telah menjadi virus yang membudaya di tengah perilaku warga negara.


Kembali ke masalah pendidikan kita. Akibat dari kebijakan pemerintah yang telah bekerja sama dengan pihak pemilik privilege dalam transformasi besar ekonomi global, yakni korporasi-koreporasi besar lintas Negara (Transntional Corporation/ Multinational Corporation) serta badan-badan donor yang semuanya berafilisai kepada agenda globalisasi perdagangan dan ekonomi yang meniscayakan lieralisasi secara massif di segala sector kehidupan (neoliberalisme), makasetali tiga uang kebijakan politik level elite tersebut pasti aan merambah secara pervasive banyak sektor kehidupan masyarakat, termasuk sector pendidikan. Makanya pemerintah harus menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kepentingan masa depan dunia baru, pasar bebas. Artinya, pemerintah akan mendidik anak-anak bangsanya menjadi bidak-bidak lapangan yang siap lebur dalam dunia pasar global yang serba terbuka, mondial dan bebas berdasarkan nilai-nilai hidup (ideology) kapitalisme. Dalam pasar bebas dunia ini, yang menjadi titik tekan adalah kebebasan memproduksi dan kebebasan persaingan perebutan pasar. Sesuai dengan sifat kapitalisme yang meniscayakan merkantilisme sebagai orde puncak, pasar bebas yang didorong para agen kapitalis dunia itu akan menjadikan lulusan-lulusan sekolah sebagai tenaga teknis atau sebagai pekerja-pekerja terampil sesuai dengan kualifikasinya. Dunia kerja telah disiapkan oleh agen-agen pemilik modal besar. Sekolah akan menyuplai tenaga kerja. Berarti hanya sekolah yang mengajarkan keterampilan sesuai keuthan pasar kerja (industri) saja yang bias dipakai. Bagi yang di luar kualifikasi it, cari sendiri tempat kerja lain. Interaksi dalam level global antara sekolah dngan pihak pemodal inilah yang kemudian membawa efek reduksi besar-besaran terhadap hakikat sekolah sebagai dunia pendidikan secara manusiawi. Partnership antara sekolah dengan pemilik modal ini menjadi hubungan yang tidak seimbang, menciptakan ketergantungan yang sungguh parah. Seolah-olah tak ada lagi alternative lain sebagai dunia kerja tanpa keluar dari logika pasar erja yang hegemonic ini. Ia menjadi taken for granted. Ada adagium popular di masyarakat kita, rupanya menjadi tren abadi yang melekat secara apriori, dalam rupa penganggap-remehan seseorang lulusan sekolah, lantaran belum memperoleh pekerjaan berdasarkan rujukan ‘baku’ dan ‘standar’ mereka.


Kapitalisme menawarkan, bahkan memaksakan kepentingannya melalui injeksi ideologis (kesadaran palsu) ke tengah masyarakat yang ter-massakan (Baudrillard). Ia menginvasi kesadaran secara filosofis, nalar instrumental yang ameniscayakan saintisasai dan teknologisasi kehidupan demi mengukuhkan kekuasaannya. Interaksi apapun yang dilakukan dalam spectrum variasi yang beragam baiasaya tidak steril dari bias kepentingannya yang merupakan fungsi ekspansif ideology keserakahan kapitalisme. Perkembangan ilmu dan teknologi sebagai hasil pergulatan sekolah pun kemudian mengarah kepada saintisme yang secara hegemoni memberi defenisi baku verifikasi keilmiahan serta memandang skeptis metode ilmiah alternative di luar stardar (metode ilmiah) tersebut. Arogansi inilah yang rupanya telah menggiring kepada penggunaan teknologi yang bebas nilai. Eliminasinya aspek nilai (moralitas, etika) inilah menyebabkan peradaban Barat menjulang tinggi dengan penh gemerlap dan kecanggihannya, namun sangat liar. Moralitas yang memang secara histories telah menjadi momok bagi spirit kebebasan (liberte) semenjak terkungkung dalam masa the Dark Age yang jumud. Pertadaban Barat sebagai produk sekolah dan muara dari arus besar Renaissance dan Aufklarung yang mendewakan rasionalitas, yang kemudian dalam perkembangannya mengarah kepada tren rasionalitas instrumental yang reduksionis dan hampa spiritualitas seperti tercetaknya manusia-manusia mesin (Herbert Marcuse).


Sekolah adalh tempat dimana kita belajar banyak hal. Sekolah biasanya tergantung kepada metode yang dipakai. Metode konvensional yang berorientasi pasar kerja, memang di satu sisi sangat baik untuk pelajarnya sebagai bekal keterampilan mendapatkan pekerjaan yang implikasina positif bagi kesejahtraan keluarga, namun kalkulasi globalnya adalah sangat merugikan secara sistematis bagi kita sebagai bangsa yang elum mapan dalam hal ekonomi, sebaliknya sangat menguntungkan pihak pemilik modal. Kondisi ini memang disadar sangat dilematis untuk tingkatan mikro atau pribadi sebagai manusia yang sedang bersekolah. Namun ini adalah kenyataan. Kenyataan yang timpang secara makro dan sistematis. Olehnya itu pemerintah haruslah mengambil tindakan yang berani demi melawan agenda-agenda kapitalisme ini. Agenda ini telah nyata sangat destruktif dan olehnya iu mnejadi biang ketidakadilan secara global, termasuk bagi Negara kita.


Karena sekolah yang berwatak pasar demikian, maka alternatifnya adalah tidak berhenti belajar di bawah kurikulum yang berorientasi pasar tersebut. Karena kalau hanya demikian, maka kita akan terjebak di tengah agenda kapitalime global yang tengah menyeret dunia sekolah kita ke sana, yang mengarah kepada program-program liberalisasi yang memiskinkan dan mnciptakan pengutang-pengutang abadi berserakan di muka bumi dalam tampang lusuh Negara-negara miskin dan berkembang. Sekolah haruslah yang tidak menggiring kepada ketidak adilan global. Sekolah haruslah menjadi salah satu benteng masyarakat dalam hal moralitas intelektual. Sekolah harus menjadi tempat belajar melawan ketidakadilan. Sekolah harus dapat mengemansipasi kondisi social yang muram. Sekolah haruslah menjadi tempat berbicara dengan hati nurani untuk berteriak dan siap menjadi martir atas sebuah cita-cita besar tetang kebenaran dan keadilan. Sekolah tidak boleh menjadi tempat mengajarkan sifat-sifat pengecut kepada anak bangsa di saat di depan mata terdapat tirani social. Marilah bersekolah di mana saja dan kapan saja, sebelum malaikat maut menghampiri kita. Selamat belajar.


Tamalanrea, 6 November 2007

Selengkapnya...